Rabu, 27 Januari 2010

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Kalimat yang saya gunakan dalam tulisan ini saya kutip dari poster dan kaos oblong yang saya beli beberapa tahun lalu di Malang. Kok kalimatnya begitu, sih?

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Tentunya hampir semua kita pernah membeli buku baik di toko buku ataupun di kaki lima. Kalau hanya buku bacaan umum biasa mungkin tidak masalah, apalagi bacaan-bacaan ringan. Bagaimana kalau membeli buku-buku pelajaran? Kalau buku-buku pelajaran sekolah, masih okelah…, bagaimana kalau membeli buku-buku perguruan tinggi? Apalagi buku-buku yang kedengarannya aneh di telinga umum, apa komentar anda?

Begini, bagi anda mahasiswa, dosen, praktisi atau bagi yang baru jadi orang Pekanbaru atau anda orang Pekanbaru yang baru kembali sekolah dari luar daerah (luar negeri jangan dibawa dulu deh tambah runyam ntar kalau kita mau membandingkan) yang memerlukan buku-buku yang "aneh" kedengarannya di telinga umum, apa komentar anda terhadap ketersediaan buku-buku penunjang perkuliahan atau profesi anda di Pekanbaru? Saya yakin, cukup banyak di antara kita akan berpendapat bahwa buku-buku yang tersedia di pasar Pekanbaru jauh dari yang diharapkan. Salah siapa? (jangan dululah kita bahas tentang ini…, panjang cerita nanti).

Ada beberapa hal yang saya lihat dalam hal ini; Pertama, pengusaha buku di Pekanbaru sama dengan pengusaha baju, market oriented. Baju yang lagi trend selalu cepat sampainya dan tentunya dengan ciri masyarakat konsumtif seperti di Pekanbaru baju tersebut cepat sekali lakunya. Oh iya, handphone juga tuh! Coba anda lihat di majalah handphone yang menampilkan handphone- handphone terbaru, tercanggih, terkeren dan ter-paten-lah pokoknya, baru saja di-lounching dinegara asalnya, dalam tempo yang tidak begitu lama akan segera tampil di gerai-gerai hanphone Pekanbaru, tidak peduli harganya berapa. Tapi buku yang mengulas tentang teknologi handphone tersebut ada gak ya di gerai-gerai buku? Kedua, keren, trend dan number one adalah ambisi kita, hanya saja kita melihatnya dari sisi yang disebut dengan "gaul". HP keren, baju paten, mobil hebat dan lain-lain itulah yang menjadi tolok ukur yang disebut sukses. Kalau soal pintar atau tidak, luas wawasan atau tidak itu urusan belakang, yang penting kan paten! Ketiga, belum adanya intervensi pemerintah langsung dalam menanggapi semakin mahalnya harga buku, dan penyediaan buku-buku murah yang belum memadai. 

Bagaimana dengan buku? Kalaupun ada harganya, ampun deh! Cobalah sekali-sekali kalau ke toko buku lihat harga buku Daftar Obat Indonesia, Atlas Anatomi Tubuh atau buku-buku teknologi informasi, dari sekian yang terpajang di rak buku, berapa persen kira-kira yang harganya dibawah 50 ribu rupiah? Anda cari tahu saja sendiri karena saya belum sempat mendata detilnya. Mahal? Bagi sebagian besar orang buku tersebut dianggap mahal. Kok mahal sih? Wah ini yang perlu dicari tau lagi. Di dalam buku tersebut terdapat komponen produksi seperti harga kertas, biaya cetak, biaya ekpedisi dan sebagainya. Semakin hebat penulisnya tentu akan semakin mahal pula harganya. Semakin hebat yang topik yang ditulis, tentu akan semakin mahal pula harga buku tersebut. Ada banyak komponen abstrak di dalamnya. Entah karena saya kurang membaca, rasanya saya belum pernah mendengar subsidi pemerintah untuk buku-buku yang dijual di toko buku.

Ada saya mendengar bahwa nasib kertas kita sama halnya dengan nasib minyak kita. Kita produksi kertas dari kayu-kayu hutan kita, kemudian kita ekspor. Lalu kertas kita? Ya tentunya kita impor kertas bekas dari negara tetangga untuk didaur ulang, itulah yang kita pakai.

Bagaimana sih peran pemerintah dalam hal ini? Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah sering dilakukan pemerintah dalam bentuk lain seperti operasi pasar sembako, ketika beras mahal maka dijuallah beras murah. Ketika minyak tanah mahal maka disediakanlah minyak tanah bersubsidi untuk masyarakat. Mengapa gerakan ini tidak terjadi di dalam memasok ketersediaan buku-buku untuk penunjang pendidikan? Padahal kan bisa saja pemerintah membuka sebuah toko buku yang hanya menjual buku-buku pelajaran. Misalkan sebuah institusi perpanjangan tangan pemerintah menjual buku-buku bersubsidi yang berorientasi bukan keuntungan semata. Sehingga buku-buku yang jarang dijual di toko buku bisa ditemukan di toko buku yang disubsidi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pengadaan buku-buku penerbit bisa memberi potongan harga hingga 50% dari harga toko! Jadi salah satu komponen yang bikin mahal buku tadi adalah biaya listrik, sewa penjaga, sewa gedung dari tempat buku tersebut dipajang.

Di Jogja dan Malang (setidaknya itu yang saya tahu) ada sebuah toko buku yang memberikan potongan harga di tokonya 15% - 50% untuk seluruh buku yang mereka jual, dan harga sebelum dikurangi potongan sama dengan di toko buku yang tidak memberikan potongan harga. Di dekat Kantor Pos Besar Surabaya, kita bisa membeli majalah-majalah baru dengan harga 50% lebih murah dari harga yang tertera di label harga majalah tersebut.

Kalau semua buku dijual seperti sekarang ini yang tidak semua lapisan masyarakat dapat menjangkaunya, tentunya sama saja akhirnya melarang kita membaca, yang ga punya uang jangan baca deh…, setidaknya membaca yang baru-baru, ntar aja bacanya di bungkus goreng dan bungkus lado. Kalau masih saja seperti ini apa akal kita lagi, marilah kita hentikan membaca ini, marilah kita lestarikan kebodohan, maaf ya mas Tantowi yang sudah capek-capek bilang orang yang tidak membaca identik dengan kemiskinan. Saya tidak menentang anda, kami akan tetap membaca kok walau dari bungkus goreng atau bungkus lado. Hanya saja kami tidak sanggup lagi untuk membeli buku pelajaran. Kalaupun harus juga kami memiliki buku tersebut, fotocopy adalah sebuah alternatif yang paling baik, legal atau tidak urusan belakang, yang jelas kami tidak bermaksud merugikan penulis dan penerbit. 

Orang Miskin Dilarang Sekolah

Wah, ini apa pula lagi…, begini…, biaya sekolah saat ini semakin hari-semakin saja mahalnya, walaupun pemerintah telah berjanji memenuhi quota 20% dana APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten Kota untuk pendidikan. Anda seorang bapak berpenghasilan 2,5 juta sebulan (bukan gaji), sebuah penghasilan menengah di Pekanbaru, punya anak 2 di perguruan tinggi, kira-kira cukup ga ya? Kalau masing-masing anak diberi uang jajan 10 ribu setiap hari kuliahnya untuk uang transport dan sedikit jajan (kalau pakai makan satu kali saja, wahh…, jangan dululah, makannya bawa bekal dari rumah saja). Penghasilan tadi masih dikurangi lagi dengan biaya makan keluarga, listrik, telpon, biaya transport anggota keluarga lainnya, dan lain-lain…, kira-kira bagaimana?

Wah semakin rumit saja nih, kalau begitu jangan dibahas-lah. Pertanyaannya diganti saja, berapa jumlah penduduk pekanbaru yang berpenghasilan 2,5 juta sebulan? Bagaimana dengan yang berpenghasilan di bawahnya? Tentu untuk dapat bersekolah di perguruan tinggi akan semakin gelap saja. Kesempatan untuk bisa bersekolah tentu adalah mimpi bagi sebagian orang. Jangan berputus asa…, kan ada beasiswa…, iya sih ada beasiswa, tapi berapa jumlah mahasiswa yang dapat ter-cover dengan beasiswa?

Saat ini beberapa perguruan tinggi telah menjadi perguruan tinggi dalam mimpi di negara kita ini, sekalipun anda pintar, tapi apakah orang tua anda cukup pintar untuk bisa menghasilkan uang sebesar yang diminta perguruan tinggi? Bukan maksud saya untuk kasar dalam hal ini, kita semua harus sadar bahwa sekolah itu mahal. Suka atau tidak suka kita harus mengakui hal ini.

Oh iya, anda berpenghasilan kurang 5 juta dan tidak mempunyai sumber keuangan lainnya, punya anak mau masuk Fakultas Kedokteran…, maaf keuangan anda tidak layak. Bukan bermaksud meremehkan anda, kalau dipikir pakai logika ndak kan bisa bagai do. Tapi beruntunglah kita yang dilahirkan sebagai orang Indonesia, orang yang benar-benar teruji sebagai survivor. Kita tidak akan berfikir dengan logika. Pokoknya masukkan saja dulu, nanti ada saja jalannya tu…, rejeki kan di tangan Tuhan. Untung ada kalimat itu, kalau tidak dengan itu saya yakin tidak akan pernah bisa sekolah pascasarjana, begitu juga adek-adek saya yang dibesarkan dan disekolahkan oleh orang tua yang tidak pernah merasakan bergaji 1,5 juta rupiah sebulan hingga pensiunnya sebagai PNS.

 

ORANG MISKIN DILARANG SAKIT

Untuk memenuhi makanan sehat bergizi cukup saja ndak cukup, dah tu dilarang pula sakit. Sebuah survai menyatakan bahwa Riau adalah salah satu propinsi yang memiliki tingkat penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Artinya, Riau juga adalah salah satu propinsi dengan tingkat pendidikannya rendah (entah betul orang tu survai atau tidak tak pulaklah saya tau, semoga saja orang tu salah). Riau hanya punya 19 orang Profesor. Itu pun dah tua-tua.

Kalau anda merasa miskin, kalaupun harus sakit ya…, pilih-pilihlah sakitnya…, jangan yang susah-susah…, cukup sakit panu saja…, atau sakit pekak saja sepertinya bagus juga tuh, supaya anda tidak perlu banyak mendengar negara kita begini, negara kita begitu, jangan pula anda ikut memikirkan negara ni. Tenang sajalah, Negara ni dah ada kok yang memikirkannya. Pikirkan saja lah bagaimana supaya sakitnya jangan yang aneh-aneh. Karena subsidi pemerintah hanya untuk sakit-sakit yang biasa saja kok. Tapi ada yang bagus satu dari kalimat Menteri Kesehatan kita dr. Siti Fadilah Supari, kalau anda punya anak kembar tak selesai, jangan kawatir, katanya. Anak tersebut adalah anak negara, segala keperluan berkenaan dengan berobatnya ditanggung negara (cuma berobatnya saja ya, jangan pula minta baju pula). Jadi kalau anda terkategori kepada orang tak mampu, ini adalah sebuah pilihan kalau berobat, carilah yang penyakit yang belum pernah ada di Indonesia, tenang saja, dijamin gratis. Anda juga akan dianggap berjasa, karena dokter-dokter bisa menimba ilmu baru dari anda.

Penutup

Bukan saya nak berputus asa dengan kondisi kita saat ini. Saya hanya sedikit jengkel melihat apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. Kita tahu itu tidak benar, tapi kita tidak berusaha untuk menjadi benar. You will never be the first class if you never put yourself in the first class (Anda tidak akan pernah menjadi manusia Kelas 1 bila anda tidak pernah menempatkan diri anda di kelas tersebut). Bagaimana kita mau pintar jika kita tidak pernah berusaha menjadi pintar. Bagaimana mau pintar kalau untuk mendapatkan buku pintar saja kita harus cukup pintar-pintar mendapatkannya.

Banyak kritikan-kritikan bagus di berbagai media untuk kita, salah satunya, "Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang". Juga banyak hal lucu terjadi di keseharian kita yang kalau dijadikan kalimat, seperti kalau ada yang bayar, kenapa harus gratis? Kalau bisa dibuat susah kenapa harus dibuat mudah? Tidakkah kita sadar kalau itu salah? Suka atau tidak fenomena ini terjadi di lingkungan kita sehari-hari.

Marikah kita perbaiki apa yang bisa kita perbaiki, janganlah lagi bergumul dengan kesalahan yang telah kita sadari. Kalau di apotik kita sudah bisa menemukan OBAT GENERIK sebagai partisipasi pemerintah dalam menyehatkan bangsa ini, semoga nanti dapat juga kita temukan buku dengan logo GENERIK di toko-toko buku. Amin.

 

Ditulis oleh Leon de Restu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.