Rabu, 27 Januari 2010

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Kalimat yang saya gunakan dalam tulisan ini saya kutip dari poster dan kaos oblong yang saya beli beberapa tahun lalu di Malang. Kok kalimatnya begitu, sih?

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Tentunya hampir semua kita pernah membeli buku baik di toko buku ataupun di kaki lima. Kalau hanya buku bacaan umum biasa mungkin tidak masalah, apalagi bacaan-bacaan ringan. Bagaimana kalau membeli buku-buku pelajaran? Kalau buku-buku pelajaran sekolah, masih okelah…, bagaimana kalau membeli buku-buku perguruan tinggi? Apalagi buku-buku yang kedengarannya aneh di telinga umum, apa komentar anda?

Begini, bagi anda mahasiswa, dosen, praktisi atau bagi yang baru jadi orang Pekanbaru atau anda orang Pekanbaru yang baru kembali sekolah dari luar daerah (luar negeri jangan dibawa dulu deh tambah runyam ntar kalau kita mau membandingkan) yang memerlukan buku-buku yang "aneh" kedengarannya di telinga umum, apa komentar anda terhadap ketersediaan buku-buku penunjang perkuliahan atau profesi anda di Pekanbaru? Saya yakin, cukup banyak di antara kita akan berpendapat bahwa buku-buku yang tersedia di pasar Pekanbaru jauh dari yang diharapkan. Salah siapa? (jangan dululah kita bahas tentang ini…, panjang cerita nanti).

Ada beberapa hal yang saya lihat dalam hal ini; Pertama, pengusaha buku di Pekanbaru sama dengan pengusaha baju, market oriented. Baju yang lagi trend selalu cepat sampainya dan tentunya dengan ciri masyarakat konsumtif seperti di Pekanbaru baju tersebut cepat sekali lakunya. Oh iya, handphone juga tuh! Coba anda lihat di majalah handphone yang menampilkan handphone- handphone terbaru, tercanggih, terkeren dan ter-paten-lah pokoknya, baru saja di-lounching dinegara asalnya, dalam tempo yang tidak begitu lama akan segera tampil di gerai-gerai hanphone Pekanbaru, tidak peduli harganya berapa. Tapi buku yang mengulas tentang teknologi handphone tersebut ada gak ya di gerai-gerai buku? Kedua, keren, trend dan number one adalah ambisi kita, hanya saja kita melihatnya dari sisi yang disebut dengan "gaul". HP keren, baju paten, mobil hebat dan lain-lain itulah yang menjadi tolok ukur yang disebut sukses. Kalau soal pintar atau tidak, luas wawasan atau tidak itu urusan belakang, yang penting kan paten! Ketiga, belum adanya intervensi pemerintah langsung dalam menanggapi semakin mahalnya harga buku, dan penyediaan buku-buku murah yang belum memadai. 

Bagaimana dengan buku? Kalaupun ada harganya, ampun deh! Cobalah sekali-sekali kalau ke toko buku lihat harga buku Daftar Obat Indonesia, Atlas Anatomi Tubuh atau buku-buku teknologi informasi, dari sekian yang terpajang di rak buku, berapa persen kira-kira yang harganya dibawah 50 ribu rupiah? Anda cari tahu saja sendiri karena saya belum sempat mendata detilnya. Mahal? Bagi sebagian besar orang buku tersebut dianggap mahal. Kok mahal sih? Wah ini yang perlu dicari tau lagi. Di dalam buku tersebut terdapat komponen produksi seperti harga kertas, biaya cetak, biaya ekpedisi dan sebagainya. Semakin hebat penulisnya tentu akan semakin mahal pula harganya. Semakin hebat yang topik yang ditulis, tentu akan semakin mahal pula harga buku tersebut. Ada banyak komponen abstrak di dalamnya. Entah karena saya kurang membaca, rasanya saya belum pernah mendengar subsidi pemerintah untuk buku-buku yang dijual di toko buku.

Ada saya mendengar bahwa nasib kertas kita sama halnya dengan nasib minyak kita. Kita produksi kertas dari kayu-kayu hutan kita, kemudian kita ekspor. Lalu kertas kita? Ya tentunya kita impor kertas bekas dari negara tetangga untuk didaur ulang, itulah yang kita pakai.

Bagaimana sih peran pemerintah dalam hal ini? Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah sering dilakukan pemerintah dalam bentuk lain seperti operasi pasar sembako, ketika beras mahal maka dijuallah beras murah. Ketika minyak tanah mahal maka disediakanlah minyak tanah bersubsidi untuk masyarakat. Mengapa gerakan ini tidak terjadi di dalam memasok ketersediaan buku-buku untuk penunjang pendidikan? Padahal kan bisa saja pemerintah membuka sebuah toko buku yang hanya menjual buku-buku pelajaran. Misalkan sebuah institusi perpanjangan tangan pemerintah menjual buku-buku bersubsidi yang berorientasi bukan keuntungan semata. Sehingga buku-buku yang jarang dijual di toko buku bisa ditemukan di toko buku yang disubsidi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pengadaan buku-buku penerbit bisa memberi potongan harga hingga 50% dari harga toko! Jadi salah satu komponen yang bikin mahal buku tadi adalah biaya listrik, sewa penjaga, sewa gedung dari tempat buku tersebut dipajang.

Di Jogja dan Malang (setidaknya itu yang saya tahu) ada sebuah toko buku yang memberikan potongan harga di tokonya 15% - 50% untuk seluruh buku yang mereka jual, dan harga sebelum dikurangi potongan sama dengan di toko buku yang tidak memberikan potongan harga. Di dekat Kantor Pos Besar Surabaya, kita bisa membeli majalah-majalah baru dengan harga 50% lebih murah dari harga yang tertera di label harga majalah tersebut.

Kalau semua buku dijual seperti sekarang ini yang tidak semua lapisan masyarakat dapat menjangkaunya, tentunya sama saja akhirnya melarang kita membaca, yang ga punya uang jangan baca deh…, setidaknya membaca yang baru-baru, ntar aja bacanya di bungkus goreng dan bungkus lado. Kalau masih saja seperti ini apa akal kita lagi, marilah kita hentikan membaca ini, marilah kita lestarikan kebodohan, maaf ya mas Tantowi yang sudah capek-capek bilang orang yang tidak membaca identik dengan kemiskinan. Saya tidak menentang anda, kami akan tetap membaca kok walau dari bungkus goreng atau bungkus lado. Hanya saja kami tidak sanggup lagi untuk membeli buku pelajaran. Kalaupun harus juga kami memiliki buku tersebut, fotocopy adalah sebuah alternatif yang paling baik, legal atau tidak urusan belakang, yang jelas kami tidak bermaksud merugikan penulis dan penerbit. 

Orang Miskin Dilarang Sekolah

Wah, ini apa pula lagi…, begini…, biaya sekolah saat ini semakin hari-semakin saja mahalnya, walaupun pemerintah telah berjanji memenuhi quota 20% dana APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten Kota untuk pendidikan. Anda seorang bapak berpenghasilan 2,5 juta sebulan (bukan gaji), sebuah penghasilan menengah di Pekanbaru, punya anak 2 di perguruan tinggi, kira-kira cukup ga ya? Kalau masing-masing anak diberi uang jajan 10 ribu setiap hari kuliahnya untuk uang transport dan sedikit jajan (kalau pakai makan satu kali saja, wahh…, jangan dululah, makannya bawa bekal dari rumah saja). Penghasilan tadi masih dikurangi lagi dengan biaya makan keluarga, listrik, telpon, biaya transport anggota keluarga lainnya, dan lain-lain…, kira-kira bagaimana?

Wah semakin rumit saja nih, kalau begitu jangan dibahas-lah. Pertanyaannya diganti saja, berapa jumlah penduduk pekanbaru yang berpenghasilan 2,5 juta sebulan? Bagaimana dengan yang berpenghasilan di bawahnya? Tentu untuk dapat bersekolah di perguruan tinggi akan semakin gelap saja. Kesempatan untuk bisa bersekolah tentu adalah mimpi bagi sebagian orang. Jangan berputus asa…, kan ada beasiswa…, iya sih ada beasiswa, tapi berapa jumlah mahasiswa yang dapat ter-cover dengan beasiswa?

Saat ini beberapa perguruan tinggi telah menjadi perguruan tinggi dalam mimpi di negara kita ini, sekalipun anda pintar, tapi apakah orang tua anda cukup pintar untuk bisa menghasilkan uang sebesar yang diminta perguruan tinggi? Bukan maksud saya untuk kasar dalam hal ini, kita semua harus sadar bahwa sekolah itu mahal. Suka atau tidak suka kita harus mengakui hal ini.

Oh iya, anda berpenghasilan kurang 5 juta dan tidak mempunyai sumber keuangan lainnya, punya anak mau masuk Fakultas Kedokteran…, maaf keuangan anda tidak layak. Bukan bermaksud meremehkan anda, kalau dipikir pakai logika ndak kan bisa bagai do. Tapi beruntunglah kita yang dilahirkan sebagai orang Indonesia, orang yang benar-benar teruji sebagai survivor. Kita tidak akan berfikir dengan logika. Pokoknya masukkan saja dulu, nanti ada saja jalannya tu…, rejeki kan di tangan Tuhan. Untung ada kalimat itu, kalau tidak dengan itu saya yakin tidak akan pernah bisa sekolah pascasarjana, begitu juga adek-adek saya yang dibesarkan dan disekolahkan oleh orang tua yang tidak pernah merasakan bergaji 1,5 juta rupiah sebulan hingga pensiunnya sebagai PNS.

 

ORANG MISKIN DILARANG SAKIT

Untuk memenuhi makanan sehat bergizi cukup saja ndak cukup, dah tu dilarang pula sakit. Sebuah survai menyatakan bahwa Riau adalah salah satu propinsi yang memiliki tingkat penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Artinya, Riau juga adalah salah satu propinsi dengan tingkat pendidikannya rendah (entah betul orang tu survai atau tidak tak pulaklah saya tau, semoga saja orang tu salah). Riau hanya punya 19 orang Profesor. Itu pun dah tua-tua.

Kalau anda merasa miskin, kalaupun harus sakit ya…, pilih-pilihlah sakitnya…, jangan yang susah-susah…, cukup sakit panu saja…, atau sakit pekak saja sepertinya bagus juga tuh, supaya anda tidak perlu banyak mendengar negara kita begini, negara kita begitu, jangan pula anda ikut memikirkan negara ni. Tenang sajalah, Negara ni dah ada kok yang memikirkannya. Pikirkan saja lah bagaimana supaya sakitnya jangan yang aneh-aneh. Karena subsidi pemerintah hanya untuk sakit-sakit yang biasa saja kok. Tapi ada yang bagus satu dari kalimat Menteri Kesehatan kita dr. Siti Fadilah Supari, kalau anda punya anak kembar tak selesai, jangan kawatir, katanya. Anak tersebut adalah anak negara, segala keperluan berkenaan dengan berobatnya ditanggung negara (cuma berobatnya saja ya, jangan pula minta baju pula). Jadi kalau anda terkategori kepada orang tak mampu, ini adalah sebuah pilihan kalau berobat, carilah yang penyakit yang belum pernah ada di Indonesia, tenang saja, dijamin gratis. Anda juga akan dianggap berjasa, karena dokter-dokter bisa menimba ilmu baru dari anda.

Penutup

Bukan saya nak berputus asa dengan kondisi kita saat ini. Saya hanya sedikit jengkel melihat apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. Kita tahu itu tidak benar, tapi kita tidak berusaha untuk menjadi benar. You will never be the first class if you never put yourself in the first class (Anda tidak akan pernah menjadi manusia Kelas 1 bila anda tidak pernah menempatkan diri anda di kelas tersebut). Bagaimana kita mau pintar jika kita tidak pernah berusaha menjadi pintar. Bagaimana mau pintar kalau untuk mendapatkan buku pintar saja kita harus cukup pintar-pintar mendapatkannya.

Banyak kritikan-kritikan bagus di berbagai media untuk kita, salah satunya, "Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang". Juga banyak hal lucu terjadi di keseharian kita yang kalau dijadikan kalimat, seperti kalau ada yang bayar, kenapa harus gratis? Kalau bisa dibuat susah kenapa harus dibuat mudah? Tidakkah kita sadar kalau itu salah? Suka atau tidak fenomena ini terjadi di lingkungan kita sehari-hari.

Marikah kita perbaiki apa yang bisa kita perbaiki, janganlah lagi bergumul dengan kesalahan yang telah kita sadari. Kalau di apotik kita sudah bisa menemukan OBAT GENERIK sebagai partisipasi pemerintah dalam menyehatkan bangsa ini, semoga nanti dapat juga kita temukan buku dengan logo GENERIK di toko-toko buku. Amin.

 

Ditulis oleh Leon de Restu



STOP MEMBACA, LESTARIKAN KEBODOHAN

Kalimat yang saya gunakan dalam tulisan ini saya kutip dari poster dan kaos oblong yang saya beli beberapa tahun lalu di Malang. Kok kalimatnya begitu, sih?

 

Stop Membaca, Lestarikan Kebodohan

Tentunya hampir semua kita pernah membeli buku baik di toko buku ataupun di kaki lima. Kalau hanya buku bacaan umum biasa mungkin tidak masalah, apalagi bacaan-bacaan ringan. Bagaimana kalau membeli buku-buku pelajaran? Kalau buku-buku pelajaran sekolah, masih okelah…, bagaimana kalau membeli buku-buku perguruan tinggi? Apalagi buku-buku yang kedengarannya aneh di telinga umum, apa komentar anda?

 

Begini, bagi anda mahasiswa, dosen, praktisi atau bagi yang baru jadi orang Pekanbaru atau anda orang Pekanbaru yang baru kembali sekolah dari luar daerah (luar negeri jangan dibawa dulu deh tambah runyam ntar kalau kita mau membandingkan) yang memerlukan buku-buku yang “aneh” kedengarannya di telinga umum, apa komentar anda terhadap ketersediaan buku-buku penunjang perkuliahan atau profesi anda di Pekanbaru? Saya yakin, cukup banyak di antara kita akan berpendapat bahwa buku-buku yang tersedia di pasar Pekanbaru jauh dari yang diharapkan. Salah siapa? (jangan dululah kita bahas tentang ini…, panjang cerita nanti).

 

Ada beberapa hal yang saya lihat dalam hal ini; Pertama, pengusaha buku di Pekanbaru sama dengan pengusaha baju, market oriented. Baju yang lagi trend selalu cepat sampainya dan tentunya dengan ciri masyarakat konsumtif seperti di Pekanbaru baju tersebut cepat sekali lakunya. Oh iya, handphone juga tuh! Coba anda lihat di majalah handphone yang menampilkan handphone- handphone terbaru, tercanggih, terkeren dan ter-paten-lah pokoknya, baru saja di-lounching dinegara asalnya, dalam tempo yang tidak begitu lama akan segera tampil di gerai-gerai hanphone Pekanbaru, tidak peduli harganya berapa. Tapi buku yang mengulas tentang teknologi handphone tersebut ada gak ya di gerai-gerai buku? Kedua, keren, trend dan number one adalah ambisi kita, hanya saja kita melihatnya dari sisi yang disebut dengan “gaul”. HP keren, baju paten, mobil hebat dan lain-lain itulah yang menjadi tolok ukur yang disebut sukses. Kalau soal pintar atau tidak, luas wawasan atau tidak itu urusan belakang, yang penting kan paten! Ketiga, belum adanya intervensi pemerintah langsung dalam menanggapi semakin mahalnya harga buku, dan penyediaan buku-buku murah yang belum memadai.

 

Bagaimana dengan buku? Kalaupun ada harganya, ampun deh! Cobalah sekali-sekali kalau ke toko buku lihat harga buku Daftar Obat Indonesia, Atlas Anatomi Tubuh atau buku-buku teknologi informasi, dari sekian yang terpajang di rak buku, berapa persen kira-kira yang harganya dibawah 50 ribu rupiah? Anda cari tahu saja sendiri karena saya belum sempat mendata detilnya. Mahal? Bagi sebagian besar orang buku tersebut dianggap mahal. Kok mahal sih? Wah ini yang perlu dicari tau lagi. Di dalam buku tersebut terdapat komponen produksi seperti harga kertas, biaya cetak, biaya ekpedisi dan sebagainya. Semakin hebat penulisnya tentu akan semakin mahal pula harganya. Semakin hebat yang topik yang ditulis, tentu akan semakin mahal pula harga buku tersebut. Ada banyak komponen abstrak di dalamnya. Entah karena saya kurang membaca, rasanya saya belum pernah mendengar subsidi pemerintah untuk buku-buku yang dijual di toko buku.

 

Ada saya mendengar bahwa nasib kertas kita sama halnya dengan nasib minyak kita. Kita produksi kertas dari kayu-kayu hutan kita, kemudian kita ekspor. Lalu kertas kita? Ya tentunya kita impor kertas bekas dari negara tetangga untuk didaur ulang, itulah yang kita pakai.

 

Bagaimana sih peran pemerintah dalam hal ini? Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah sering dilakukan pemerintah dalam bentuk lain seperti operasi pasar sembako, ketika beras mahal maka dijuallah beras murah. Ketika minyak tanah mahal maka disediakanlah minyak tanah bersubsidi untuk masyarakat. Mengapa gerakan ini tidak terjadi di dalam memasok ketersediaan buku-buku untuk penunjang pendidikan? Padahal kan bisa saja pemerintah membuka sebuah toko buku yang hanya menjual buku-buku pelajaran. Misalkan sebuah institusi perpanjangan tangan pemerintah menjual buku-buku bersubsidi yang berorientasi bukan keuntungan semata. Sehingga buku-buku yang jarang dijual di toko buku bisa ditemukan di toko buku yang disubsidi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pengadaan buku-buku penerbit bisa memberi potongan harga hingga 50% dari harga toko! Jadi salah satu komponen yang bikin mahal buku tadi adalah biaya listrik, sewa penjaga, sewa gedung dari tempat buku tersebut dipajang.

 

Di Jogja dan Malang (setidaknya itu yang saya tahu) ada sebuah toko buku yang memberikan potongan harga di tokonya 15% - 50% untuk seluruh buku yang mereka jual, dan harga sebelum dikurangi potongan sama dengan di toko buku yang tidak memberikan potongan harga. Di dekat Kantor Pos Besar Surabaya, kita bisa membeli majalah-majalah baru dengan harga 50% lebih murah dari harga yang tertera di label harga majalah tersebut.

 

Kalau semua buku dijual seperti sekarang ini yang tidak semua lapisan masyarakat dapat menjangkaunya, tentunya sama saja akhirnya melarang kita membaca, yang ga punya uang jangan baca deh…, setidaknya membaca yang baru-baru, ntar aja bacanya di bungkus goreng dan bungkus lado. Kalau masih saja seperti ini apa akal kita lagi, marilah kita hentikan membaca ini, marilah kita lestarikan kebodohan, maaf ya mas Tantowi yang sudah capek-capek bilang orang yang tidak membaca identik dengan kemiskinan. Saya tidak menentang anda, kami akan tetap membaca kok walau dari bungkus goreng atau bungkus lado. Hanya saja kami tidak sanggup lagi untuk membeli buku pelajaran. Kalaupun harus juga kami memiliki buku tersebut, fotocopy adalah sebuah alternatif yang paling baik, legal atau tidak urusan belakang, yang jelas kami tidak bermaksud merugikan penulis dan penerbit.

 

Orang Miskin Dilarang Sekolah

Wah, ini apa pula lagi…, begini…, biaya sekolah saat ini semakin hari-semakin saja mahalnya, walaupun pemerintah telah berjanji memenuhi quota 20% dana APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten Kota untuk pendidikan. Anda seorang bapak berpenghasilan 2,5 juta sebulan (bukan gaji), sebuah penghasilan menengah di Pekanbaru, punya anak 2 di perguruan tinggi, kira-kira cukup ga ya? Kalau masing-masing anak diberi uang jajan 10 ribu setiap hari kuliahnya untuk uang transport dan sedikit jajan (kalau pakai makan satu kali saja, wahh…, jangan dululah, makannya bawa bekal dari rumah saja). Penghasilan tadi masih dikurangi lagi dengan biaya makan keluarga, listrik, telpon, biaya transport anggota keluarga lainnya, dan lain-lain…, kira-kira bagaimana?

 

Wah semakin rumit saja nih, kalau begitu jangan dibahas-lah. Pertanyaannya diganti saja, berapa jumlah penduduk pekanbaru yang berpenghasilan 2,5 juta sebulan? Bagaimana dengan yang berpenghasilan di bawahnya? Tentu untuk dapat bersekolah di perguruan tinggi akan semakin gelap saja. Kesempatan untuk bisa bersekolah tentu adalah mimpi bagi sebagian orang. Jangan berputus asa…, kan ada beasiswa…, iya sih ada beasiswa, tapi berapa jumlah mahasiswa yang dapat ter-cover dengan beasiswa?

 

Saat ini beberapa perguruan tinggi telah menjadi perguruan tinggi dalam mimpi di negara kita ini, sekalipun anda pintar, tapi apakah orang tua anda cukup pintar untuk bisa menghasilkan uang sebesar yang diminta perguruan tinggi? Bukan maksud saya untuk kasar dalam hal ini, kita semua harus sadar bahwa sekolah itu mahal. Suka atau tidak suka kita harus mengakui hal ini.

 

Oh iya, anda berpenghasilan kurang 5 juta dan tidak mempunyai sumber keuangan lainnya, punya anak mau masuk Fakultas Kedokteran…, maaf keuangan anda tidak layak. Bukan bermaksud meremehkan anda, kalau dipikir pakai logika ndak kan bisa bagai do. Tapi beruntunglah kita yang dilahirkan sebagai orang Indonesia, orang yang benar-benar teruji sebagai survivor. Kita tidak akan berfikir dengan logika. Pokoknya masukkan saja dulu, nanti ada saja jalannya tu…, rejeki kan di tangan Tuhan. Untung ada kalimat itu, kalau tidak dengan itu saya yakin tidak akan pernah bisa sekolah pascasarjana, begitu juga adek-adek saya yang dibesarkan dan disekolahkan oleh orang tua yang tidak pernah merasakan bergaji 1,5 juta rupiah sebulan hingga pensiunnya sebagai PNS.

 

ORANG MISKIN DILARANG SAKIT

Untuk memenuhi makanan sehat bergizi cukup saja ndak cukup, dah tu dilarang pula sakit. Sebuah survai menyatakan bahwa Riau adalah salah satu propinsi yang memiliki tingkat penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Artinya, Riau juga adalah salah satu propinsi dengan tingkat pendidikannya rendah (entah betul orang tu survai atau tidak tak pulaklah saya tau, semoga saja orang tu salah). Riau hanya punya 19 orang Profesor. Itu pun dah tua-tua.

 

Kalau anda merasa miskin, kalaupun harus sakit ya…, pilih-pilihlah sakitnya…, jangan yang susah-susah…, cukup sakit panu saja…, atau sakit pekak saja sepertinya bagus juga tuh, supaya anda tidak perlu banyak mendengar negara kita begini, negara kita begitu, jangan pula anda ikut memikirkan negara ni. Tenang sajalah, Negara ni dah ada kok yang memikirkannya. Pikirkan saja lah bagaimana supaya sakitnya jangan yang aneh-aneh. Karena subsidi pemerintah hanya untuk sakit-sakit yang biasa saja kok. Tapi ada yang bagus satu dari kalimat Menteri Kesehatan kita dr. Siti Fadilah Supari, kalau anda punya anak kembar tak selesai, jangan kawatir, katanya. Anak tersebut adalah anak negara, segala keperluan berkenaan dengan berobatnya ditanggung negara (cuma berobatnya saja ya, jangan pula minta baju pula). Jadi kalau anda terkategori kepada orang tak mampu, ini adalah sebuah pilihan kalau berobat, carilah yang penyakit yang belum pernah ada di Indonesia, tenang saja, dijamin gratis. Anda juga akan dianggap berjasa, karena dokter-dokter bisa menimba ilmu baru dari anda.

 

Penutup

Bukan saya nak berputus asa dengan kondisi kita saat ini. Saya hanya sedikit jengkel melihat apa yang terjadi di sekitar kita saat ini. Kita tahu itu tidak benar, tapi kita tidak berusaha untuk menjadi benar. You will never be the first class if you never put yourself in the first class (Anda tidak akan pernah menjadi manusia Kelas 1 bila anda tidak pernah menempatkan diri anda di kelas tersebut). Bagaimana kita mau pintar jika kita tidak pernah berusaha menjadi pintar. Bagaimana mau pintar kalau untuk mendapatkan buku pintar saja kita harus cukup pintar-pintar mendapatkannya.

 

Banyak kritikan-kritikan bagus di berbagai media untuk kita, salah satunya, “Senang lihat orang susah, susah lihat orang senang”. Juga banyak hal lucu terjadi di keseharian kita yang kalau dijadikan kalimat, seperti kalau ada yang bayar, kenapa harus gratis? Kalau bisa dibuat susah kenapa harus dibuat mudah? Tidakkah kita sadar kalau itu salah? Suka atau tidak fenomena ini terjadi di lingkungan kita sehari-hari.

 

Marikah kita perbaiki apa yang bisa kita perbaiki, janganlah lagi bergumul dengan kesalahan yang telah kita sadari. Kalau di apotik kita sudah bisa menemukan OBAT GENERIK sebagai partisipasi pemerintah dalam menyehatkan bangsa ini, semoga nanti dapat juga kita temukan buku dengan logo GENERIK di toko-toko buku. Amin.


Ditulis oleh Leon de Restu

Senin, 25 Januari 2010

Rendahnya Minat Baca, Mengapa?

Tahukah kita, setiap tanggal 17 Mei kita peringati sebagai Hari Buku Nasional. Memang, pamor momentum tersebut kalah jika dibandingkan dengan momentum lainnya, seperti Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) atau Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei). Itu disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah karena buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Benarkah?

Masalah minat baca di kalangan anak-anak maupun orang dewasa di negeri kita sudah banyak ditulis di koran, majalah, sebagai topik penelitian atau makalah untuk diseminarkan. Kalau kita cari di internet dengan Google Search akan ditemukan ratusan tulisan/informasi tentang hal ini.

Namun, topik ini tetap menarik dan aktual. Mengapa? Karena setelah begitu banyak ditulis dan dibicarakan masih saja belum tampak peningkatan minat baca yang signifikan. Para pelajar sekolah menengah hanya membaca ketika mau ulangan. Mahasiswa hanya membaca saat mau ujian. Sedangkan para birokrat dan aparat negara hanya membaca apa yang terkait dengan bidang tugasnya misalnya buku perundang-undangan.

Indikator rendahnya minat baca adalah dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan yang memang masih jauh di bawah penerbitan buku di negeri-negeri maju. Negara disebut maju karena rakyatnya suka membaca. Ini dibuktikan dari jumlah buku yang diterbitkan dan jumlah perpustakaan yang ada di negeri itu.

Mengapa orang-orang (baik anak-anak maupun orang dewasa) Indonesia kurang berminat membaca? Padahal jika dicermati sejenak penerbitan majalah dan koran, dalam sepuluh tahun terakhir jumlah nama/judulnya sangat meningkat. Mestinya ini berarti makin banyak orang berminat membaca. Tetapi sayang, minat ini hanya terbatas pada membaca koran, majalah maupun novel. Sedangkan minat baca yang dimaksud tentunya juga membaca buku yang memuat pengetahuan yang menyebabkan masyarakat suatu negeri memiliki penduduk yang cerdas mampu bersaing setaraf dengan masyarakat negeri lain di bidang apa saja di dunia internasional. Ini terlihat dari buku yang terjual di bulan Mei sampai April, angka tertinggi Novel Laskar Pelangi karangan Andrea Hirarta sebanyak 250-300 eksemplar perbulan. Kedua Ayat-ayat Cinta sebanyak 120-an sampai 200-an eksemplar. Begitu juga pada kelas remaja Komik Naruto menduduki urutan teratas dengan penjualan 150-an eksemplar perbulan.

Mengapa minat baca di Indonesia dikatakan rendah?

Bicara soal minat baca masyarakat kita, pendapat orang tentang ini suka terpecah. Ada yang beranggapan memang minim, tapi ada juga yang menuding daya beli yang rendah yang membuat masyarakat kita kelihatan kurang doyan dengan kegiatan membaca. Lantas yang benar yang mana ya?

Pertama soal daya beli dan harga buku yang mahal.

Harga buku yang sangat mahal sementara kondisi perekonomian masyarakat masih memprihatinkan. Orang tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok sehari-hari dari pada membeli buku. Asumsi ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena banyak orang yang secara ekonomi telah mampu justru tidak membeli buku. Mereka lebih memilih membeli hand phone terbaru (biasanya yang pakai kamera) buat anak-anaknya dari pada membeli buku. Pernahkah anda dengar ada orang tua yang memberikan hadiah ulang tahun berbentuk buku bacaan pada anaknya ?.

Umumnya orang bersedia mengeluarkan uangnya dengan melihat salah satu atau dua faktor: nilai manfaat dan nilai kesenangan. Kenyataannya, kebanyakan orang kita tidak pernah pelit untuk urusan kesenangan. Setiap ada film baru yang bagus, loket di gedung-gedung bioskop akan penuh dengan antrian calon penonton. Hal yang sama kita lihat di mall, toko kaset, atau di restoran fast food. Hampir setiap saat akan selalu ada orang yang bersedia membelanjakan uangnya disana.

Persoalannya sekarang, buku bagi sebagian besar diantara kita masih belum menjanjikan salah satu atau keduanya, baik nilai manfaat maupun kesenangan. Dalam skala prioritas, keluar uang untuk membeli buku akan berada di urutan terendah. Mau bukti? Berapa banyak sih diantara kita yang begitu terima gaji atau — bagi yang masih bergantung pada orangtua —  mendapat uang saku lantas langsung ngacir ke toko buku? Ceritanya berbeda kalau ada buku yang cukup menarik perhatian (punya nilai kesenangan), atau memang sangat diperlukan (punya nilai kebutuhan), baru deh, kelihatan "daya beli" orang Indonesia di toko buku :).

Kedua Pola dan gaya hidup masyarakat konsumtif

Pola dan gaya hidup masyarakat yang memang tampaknya selalu ingin unjuk diri, pamer akan kelebihan-kelebihan dari segi materi. Kita belum pernah mendengar pujian misalnya "Wah bagus benar bukunya, buku seperti itu sudah langka lho di pasaran". Yang akrab di telinga kita justru kata-kata seperti " Wah bagus sekali ponselmu, berapa harganya ? apakah merek Nokia, Siemens, Motorola, Samsung. Wah pakai kamera lagi". Pengetahuan yang kita peroleh melalui membaca buku memang tidak bisa tampak serta merta seperti pakaian misalnya. Ia adalah asset yang hanya dapat disimpan untuk sekali-sekali digunakan.

Ketiga, sistem pembelajaran di Indonesia

Sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku (lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra dsb.

Keempat, banyaknya jenis hiburan

Banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, surfing di internet walaupun yang terakhir ini masih dapat dimasukkan sebagai sarana membaca. Hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak. Kemudian, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall, supermarket.

Kelima, pengaruh latar belakang budaya

Rendahnya minat baca mungkin juga adalah pengaruh latar belakang budaya kita yang memang tidak terbiasa dengan bacaan. Dulu para nenek moyang kita memperoleh ilmu dengan cara bertapa dan semedi atau berguru pada orang-orang pintar. Kepandaian yang selalu disampaikan secara lisan turun-temurun. 
Selain kendala kultural seperti di atas, ada hambatan lain secara struktural hingga orang malas membaca. Budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal dikemukakan orangtua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu.

Pengaruh Minat Baca yang Rendah Terhadap Sumber Daya Manusia

Makin rendahnya minat baca merupakan ancaman yang potensial mengganggu program peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang dan lapisan masyarakat lantaran ia bisa membikin tumpul kepekaan kita terhadap segala hal utamanya manusia dan kemanusiaan.

Tingginya animo masyarakat untuk membaca surat kabar dan majalah saat ini sebagaimana tampak di instansi pemerintah dan perpustakaan tidak bisa dijadikan patokan bahwa minat baca sudah meningkat. Perlu diketahui bahwa membaca koran dan majalah hanyalah usaha yang susah payah untuk mengoleksi informasi atau untuk mengetahui peristiwa yang bersifat temporal atau sesaat.

Persepsi umum untuk kegiatan membaca juga tidak selalu positif. Orang yang punya hobi membaca sering diasosiasikan sebagai orang yang introvent, suka menyendiri, atau bahkan asosial. Tidak heran, kaum pecinta buku disini sering diberi sebutan "kutu buku", sebuah panggilan yang sebenarnya lebih bermakna ejekan ketimbang penghargaan.

Umumnya masyarakat kita suka bacaan yang ringan, macam novel atau fiksi. Untuk jenis non-fiksi, akhir-akhir ini ada trend peningkatan minat untuk bacaan sastra seperti karangan Kahlil Gibran, atau kumpulan kisah-kisah inspiratif seperti serial "Chicken Soup". Untuk buku-buku praktis, orang kita umumnya lebih suka buku yang sifatnya "how-to" ketimbang yang mengupas suatu hal secara mendalam.

Tidak sedikit keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca. Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca (2007) mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun. Apa pasal?

Sebab, pada masa 0-2 tahun perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca, kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau mendengarkan radio.

Namun, apa sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab "Menciptakan Keluarga Sukses" (2005), Mustofa W Hasyim menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga. Sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan anak-anak.

Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung.